Rabu, 19 Januari 2011

Fenomena Maulid di kabupaten Pidie

Oleh: Rifadhli

Menurut sebuah riwayat, sejarah peringatan Maulid pertama sekali diadakan pada masa sultan Salahuddin al-Ayyubi memerintah dinasti Ayyubiyah di Mesir pada tahun 1185 M (581 H), yang bertujuan untuk membangkitkan kembali semangat kaum Muslimin yang sudah mulai surut dalam berperang melawan pasukan perang salib yang pada waktu itu telah banyak membunuh kaum Muslimin dan menguasai kota Al-Qud selama lebih kurang 70 tahun.
Sultan Shalahuddin al-Ayyubi pada waktu itu berinisiatif ingin menyelenggarakan sejenis sayembara tentang riwayat kehidupan Nabi. Sayembara tersebut dimenangkan oleh Syaikh Ja’far al-Barzanji dengan karyanya Al-Jawahir yang dikemudian harinya dikenal dengan kitab Al-Barzanji yang alunan syairnya sering diperdengarkan diwaktu Maulid tiba . Setelah even ini selesai digelar dengan segelintir acara penyemangatan kaum Muslimin lainnya, maka semangat kaum Muslimin berapi-api kembali untuk memerangi tentara salib pada waktu itu dan kota suci Al-Qud serta mesjidil Aqsa yang dulu dijadikan geraja oleh tentara salib dapat diambil kembali.
Memperingati Maulid ini turun-temurun masih dilakukan oleh orang-orang islam umumnya di Aceh sampai sekarang. Kebiasaan-kebiasaan ini diadakan setiap tahun terhitung sejak tanggal 12 Rabi’ul awal sampai 100 hari kemudian menurut hitungan tahun Hijriah. Kebiasaan ini dilakukan untuk mengenang kembali arwah Nabi Muhammad SWA, yang telah sukses membawa ummat dari polapikir jahiliah ke pola pikir yang islamiah sesuai dengan perintah Allah SWT.
Khusus di wiliyah Pidie, setiap peringatan Maulid yang mulai dirayakan oleh sebagian masyarakat, masyarakat yang berdomisili di kabupaten penghasil Keureupuk Mulieng ini merayakan Maulid (molod) dengan bu kulah (nasi yang dibungkus dengan daun pisang yang sudah dilayu dengan hawa panas api). Kira-kira lebih kurang dua puluh lima bungkus dimasukkan kedalam dalong kemudian ditutupi dengan sange atau orang menyebutnya hidang. Sedangkan menu masakan seperti, Sie Itek, Sie Manok, dan beberapa jenis ikan dengan masakan yang berbeda-beda (masak mirah, masak puteh, asam ke eung, dan sebagainya), bahkan ada juga beberapa buah-buahan yaitu berupa pisang, boh aneuh ngeon boh mamplam teucang-cang (nenas dan mangga yang telah di iris-iris) serta papaya, dimasukkan kedalam hidangan lain yang terpisah dengan nasi, atau lazem disebutnya sebagai hidangan pencuci mulut.
Dua dalong/hidang yang penuh dengan bu kulah dan menunya dibungkus dengan kain khusus khas Aceh dan dibawa ke Meunasah. Sesampai di Meunasah, hidang tadi ditaruh pada suatu tempat yang telah ditentukan bersama sebelumnya. Sedangkan warga kampung tetangga yang telah datang memenuhi undangan kenduri maulid tersebut telah berkumpul didekat tempat kenduri menunggu giliran dipanggil. Setelah dipanggil, mereka langsung menuju tempat kenduri yang telah ditentukan. oleh si empunya hidangan mereka dipersilahkan masuk dan sebelum warga desa tetangga itu duduk bersila, mereka diminta untuk membacakan shalawat kepada Nabi.
Setelah pembacaan shalawat selesai, maka mereka duduk bersama sembari menunggu hidangan dibuka dan dibagikan menunya oleh dua orang dari kelompok tersebut. Mula-mula yang dibagikan adalah bu kulah untuk dibuka menampung menu sie itek, manok dan menu lainnya. Pembagiannya hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit.
Setelah bu kulah dan menunya terbagi rata, maka selanjutnya dibagi-bagilah kantong plastic untuk dimasukkan bu kulah yang telah dicampur dengan menunya tadi untuk dibawa pulang, lalu mereka berpamitan kepada siempunya hidangan untuk membawa pulang kenduri dengan cara bersalaman penuh kemaafan dan kesenangan. Tamu yang diundang adalah tamu dari warga kampong lain yang berdekatan dengan kampong yang mengadakan kenduri maulid dan kampung tersebut tidak mengadakan kenduri maulid pada waktu yang bersamaan dengan kampong yang mengundang. Kira-kira bagitulah yang dirasakan oleh warga kampong pada saat kenduri Maulid.
Lain halnya dirumah, sebagian tamu yang diundang adalah sanak saudara, kaum kerabat dan teman dekat, mereka membawa sekilo gula pasir atau sebuah bungkusan roti. Sedangkan hidangan yang disuguhkan untuk tamu yang diundang kerumah sangat berbeda dengan yang di keluarkan ke Meunasah. Mereka diberikan kenduri dengan cara dihidangkan beberapa menu makanan dalam sebuah tafsi (talam) yang langsung menyantapnya dirumah tersebut tanpa membawa pulang. Menurut banyak sumber, tradisi ini telah berlaku di Pidie semenjak puluhan tahun yang lalu.
Kenduri maulid ini dilaksanakan berbeda-beda antara rumah yang satu dengan rumah yang lain sesuai dengan kemampuan siempunya karena tidak ada batasan yang mengharuskan, Sehingga orang yang melakukan kenduri tidak menjadi beban bagi dirinya, karena momen ini hanya mengutamakan keikhlasan semata.
Sajian makanan yang diberikan baik diundang kerumah maupun ke Menasah bukan untuk menghambur-hamburkan, tapi momen ini selain untuk mempererat tali silaturrahmi baik sesama sanak famili, sahabat, dan tetangga kampong, juga dianggap sebagai sedekah. Pahala sedekah tersebut dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SWA dan menjadi amal atau tabungan bekal dari sedekah untuk alam barzah bagi dirinya.


Jazakumullah khairan kasira.
Amin...........semoga diterima disisi Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar