Jumat, 11 Februari 2011

CARA MEMAPARKAN ASPIRASI LEWAT TULISAN

Pernahkan anda terpikir bagaimana  untuk memaparkan pengetahuan yang sudah anda tahu supaya bisa di ketahuai juga oleh umum (membagi pengetahuan), karena apabila ini tidak terpublikasi seakan-akan ilmu itu mengganjal dipikiran kita, akan tetapi setelah aspiarasi ini terpaparkan pikiran terasa lebih terbuka, lebih tenang, dan menjadi kepuasan bagi kita pribadi.

Tidak sedikit orang kaya ilmu pengetahuan, tapi tidak mengikatnya dengan tulisan. Satu saat, ia akan hilang seiring hilangnya usia. Gagasan-gagasannya akan terlupakan seiring perjalanan waktu. Sebaliknya, banyak orang tetap hidup bersama kita meskipun jasadnya telah terkubur tanah ratusan tahun silam. Seperti Al-ghazali, Ibn Khaldun, dan lain-lain.Tulisan-tulisan dan teori-teori mereka masih mengikat erat namanya untuk tetap hidup dan bahkan terus berkembang. Demikian juga dengan sejumlah pemikir dan pemilik ilmu masa lalu lainnya, karena tulisan-tulisannya, hingga sekarang masih hadir bersama kita.
Thomas Tyner pernah menulis sebuah buku, Writing Voyage. Isi buku ini mengajak para pembaca untuk menulis, dan dari judul buku ini mencerminkan bahwa menulis pada dasarnya merupakan seni dan keterampilan.Voyage yang dimaksud bukana berarti sebuah pelayaran yang menggunakan perahu. Writing Voyage yang diilustrasikan oleh Tyner, memang merupakan seni mendayung gagasan, pikiran, ataupun pengalaman. Berdayung tentusaja beergerak pelan. Untuk sampai ke tempat tujuan, ia butuh waktu, dan kesabaran. Karya tulis ibarat sebuah lautan yang tak bertepi.
Seperti itulah aktivitas menulis. Merakit kata menjadi kalimat, untuk kemudian merangkainya menjadi karya tulis yang bermakna. Menulis merupakan pekerjaan yang penuh konsentrasi, fokus, ketekunan, tapi juga menyenagkan. Menulis adalah sesuatu yang digunakan untuk menyampaikan suatu maksud kepada yang dituju atau pembaca. Dalama hal ini, ukuran utama penggunaannya adalah ke-efektifan dan keefisiensian. Semakin efektif dan efisien suatu tulisan dalam menyampaikan sesuatu kepada yang dituju, maka ia akan menjadi pilihan, sebaliknya semakin tidak efektif dan tidaf efesien suatu tulisan, maka ia akan semakin dipertimbakan orang untuk tidak dipilih, dan cenderung akan semakin ditinggalkan orang.
Sebenarnya hampir setiap orang telah trbiasa menulis. Sejak sekolah dsar hingga perkembangan seterusnya. Menulis ketika mencatat dan mengerjakan pekerjaan runah, tugas-tugas, serta berkirim surat. Dengan demikian, pada dasarnyasetiap orang sudah memiliki ketrampilan menulis. Oleh semua itu, semua orang yang bisa menulis telah memiliki potensi untuk menjadi penulis. Hanya potensi itu memang perlu dikembangkan. Ketika sangat lancar menulis untuk catatan-catatan, kita juga mahir untuk menulis diaryperjalanan hidup kita. Semua itu memang baru kreativitas dan produktivitas menulis yang sajiannya diperuntukkan bagi kalangan sangat terbatas. Penulisa diary dan catatan untuk dibaca sendiri. Pekerjaan rumah dan tugas-tugas untuk dibaca guru atau dosen. Sementara surat-surat untuk dibaca hanya untuk orang yang kita kirim.
Kemahiran menulis tidak hanya dipengaruhi oleh bakat, tapi yang terbesar adalah tergantung kepada kesungguhan dari kerja keras. Sehingga tidak mengherankan bahwa kemahiran menulis itu hanya bagi yang membiasakan dan mengembangkan dari tulisan yang biasanya hanya untuk dibaca sendiri atau dibaca dosen kepada tulisan yang bisa, enak, dan penting dibaca oleh orang.
Dengan demikian, kesungguhan dan kerja keras terkonsentrasi kepada, bagaimana kita menyiasati perubahan gaya menulis untuk konsumsi pribadi atau konsumsi kalangan terbatas, kepad konsumsi untuk dibaca umum.

Hanya itulah sebenarnya titik awal bagi pemula yang kesulitan
memasuki dunia tulis........

Rabu, 19 Januari 2011

Fenomena Maulid di kabupaten Pidie

Oleh: Rifadhli

Menurut sebuah riwayat, sejarah peringatan Maulid pertama sekali diadakan pada masa sultan Salahuddin al-Ayyubi memerintah dinasti Ayyubiyah di Mesir pada tahun 1185 M (581 H), yang bertujuan untuk membangkitkan kembali semangat kaum Muslimin yang sudah mulai surut dalam berperang melawan pasukan perang salib yang pada waktu itu telah banyak membunuh kaum Muslimin dan menguasai kota Al-Qud selama lebih kurang 70 tahun.
Sultan Shalahuddin al-Ayyubi pada waktu itu berinisiatif ingin menyelenggarakan sejenis sayembara tentang riwayat kehidupan Nabi. Sayembara tersebut dimenangkan oleh Syaikh Ja’far al-Barzanji dengan karyanya Al-Jawahir yang dikemudian harinya dikenal dengan kitab Al-Barzanji yang alunan syairnya sering diperdengarkan diwaktu Maulid tiba . Setelah even ini selesai digelar dengan segelintir acara penyemangatan kaum Muslimin lainnya, maka semangat kaum Muslimin berapi-api kembali untuk memerangi tentara salib pada waktu itu dan kota suci Al-Qud serta mesjidil Aqsa yang dulu dijadikan geraja oleh tentara salib dapat diambil kembali.
Memperingati Maulid ini turun-temurun masih dilakukan oleh orang-orang islam umumnya di Aceh sampai sekarang. Kebiasaan-kebiasaan ini diadakan setiap tahun terhitung sejak tanggal 12 Rabi’ul awal sampai 100 hari kemudian menurut hitungan tahun Hijriah. Kebiasaan ini dilakukan untuk mengenang kembali arwah Nabi Muhammad SWA, yang telah sukses membawa ummat dari polapikir jahiliah ke pola pikir yang islamiah sesuai dengan perintah Allah SWT.
Khusus di wiliyah Pidie, setiap peringatan Maulid yang mulai dirayakan oleh sebagian masyarakat, masyarakat yang berdomisili di kabupaten penghasil Keureupuk Mulieng ini merayakan Maulid (molod) dengan bu kulah (nasi yang dibungkus dengan daun pisang yang sudah dilayu dengan hawa panas api). Kira-kira lebih kurang dua puluh lima bungkus dimasukkan kedalam dalong kemudian ditutupi dengan sange atau orang menyebutnya hidang. Sedangkan menu masakan seperti, Sie Itek, Sie Manok, dan beberapa jenis ikan dengan masakan yang berbeda-beda (masak mirah, masak puteh, asam ke eung, dan sebagainya), bahkan ada juga beberapa buah-buahan yaitu berupa pisang, boh aneuh ngeon boh mamplam teucang-cang (nenas dan mangga yang telah di iris-iris) serta papaya, dimasukkan kedalam hidangan lain yang terpisah dengan nasi, atau lazem disebutnya sebagai hidangan pencuci mulut.
Dua dalong/hidang yang penuh dengan bu kulah dan menunya dibungkus dengan kain khusus khas Aceh dan dibawa ke Meunasah. Sesampai di Meunasah, hidang tadi ditaruh pada suatu tempat yang telah ditentukan bersama sebelumnya. Sedangkan warga kampung tetangga yang telah datang memenuhi undangan kenduri maulid tersebut telah berkumpul didekat tempat kenduri menunggu giliran dipanggil. Setelah dipanggil, mereka langsung menuju tempat kenduri yang telah ditentukan. oleh si empunya hidangan mereka dipersilahkan masuk dan sebelum warga desa tetangga itu duduk bersila, mereka diminta untuk membacakan shalawat kepada Nabi.
Setelah pembacaan shalawat selesai, maka mereka duduk bersama sembari menunggu hidangan dibuka dan dibagikan menunya oleh dua orang dari kelompok tersebut. Mula-mula yang dibagikan adalah bu kulah untuk dibuka menampung menu sie itek, manok dan menu lainnya. Pembagiannya hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit.
Setelah bu kulah dan menunya terbagi rata, maka selanjutnya dibagi-bagilah kantong plastic untuk dimasukkan bu kulah yang telah dicampur dengan menunya tadi untuk dibawa pulang, lalu mereka berpamitan kepada siempunya hidangan untuk membawa pulang kenduri dengan cara bersalaman penuh kemaafan dan kesenangan. Tamu yang diundang adalah tamu dari warga kampong lain yang berdekatan dengan kampong yang mengadakan kenduri maulid dan kampung tersebut tidak mengadakan kenduri maulid pada waktu yang bersamaan dengan kampong yang mengundang. Kira-kira bagitulah yang dirasakan oleh warga kampong pada saat kenduri Maulid.
Lain halnya dirumah, sebagian tamu yang diundang adalah sanak saudara, kaum kerabat dan teman dekat, mereka membawa sekilo gula pasir atau sebuah bungkusan roti. Sedangkan hidangan yang disuguhkan untuk tamu yang diundang kerumah sangat berbeda dengan yang di keluarkan ke Meunasah. Mereka diberikan kenduri dengan cara dihidangkan beberapa menu makanan dalam sebuah tafsi (talam) yang langsung menyantapnya dirumah tersebut tanpa membawa pulang. Menurut banyak sumber, tradisi ini telah berlaku di Pidie semenjak puluhan tahun yang lalu.
Kenduri maulid ini dilaksanakan berbeda-beda antara rumah yang satu dengan rumah yang lain sesuai dengan kemampuan siempunya karena tidak ada batasan yang mengharuskan, Sehingga orang yang melakukan kenduri tidak menjadi beban bagi dirinya, karena momen ini hanya mengutamakan keikhlasan semata.
Sajian makanan yang diberikan baik diundang kerumah maupun ke Menasah bukan untuk menghambur-hamburkan, tapi momen ini selain untuk mempererat tali silaturrahmi baik sesama sanak famili, sahabat, dan tetangga kampong, juga dianggap sebagai sedekah. Pahala sedekah tersebut dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SWA dan menjadi amal atau tabungan bekal dari sedekah untuk alam barzah bagi dirinya.


Jazakumullah khairan kasira.
Amin...........semoga diterima disisi Allah.

AlertPay Blog

AlertPay Blog

Senin, 10 Januari 2011

Islam adalah teroris


Ada dua, sumber agama di dunia, yaitu ardhi dan samawi. Ardhi adalah agama yang bukan turun dari langit seperti hindu, budha, dan sebagainya. Sedangkan agama samawi adalah agama yang sumbernya dari langit, Salahsatunya adalah islam. Sejak nabi Muhammad SAW menerima wahyu, agama islam sudah manjadi satu-satunya agama yang di ridhai di sisi Allah, tidak diragukan lagi kebenarannya, dan sudah terjamin kebenarannya dari pada agama-agama lain, ini memang sudah tertara dalam Al-qur’an. Kalau kita bicara tetntang Al-qur’an mukin untuk sebagian kalangan muda sekarang tidak mengenal atau hanya sekedar tau tetapi tidak memahami. Seharusnya kejadian seperti ini sangat disayangkan akan tetapi apa hendak dikata memang sudah jamannya begitu. Semua isi dalam Al-qur’an  (kalam Allah) selalu cocok untuk diaplikasikan sepanjang jaman.
Para ahli yang melakukan penelitian dalam berbagai bidang, seperti ilmu kimia, biologi, fisika, dan sebagainya, bukanlah untuk mendapatkan teori-teori baru, tetapi hasil dari penilitian yang didapat hanyalah membuktikan dan membenarkan kalam Allah. Yang melakukan penelitian belum tentu ia penganut islam ( muslim), tetapi setelah dia membuktikan sendiri bahwa hasil dari penelitiannya sesuai dengan apa yang tetara di dalam al-qur’an, dia lang sung mengakui bahwa isi al-qur’an itu benar. Bayangkan kalau kita seorang muslim yang memang sudah 100 % mengakui isi al-qur’an benar, sudah seharusnya mendalami, mehami, dan mengamalkan.
Bagaimana dengan lingkungan kiata sekarang, pernahkah anda terpikir dengan kasus ini?Alhamdulillah sampai sekarang masih ada tetapi orang-orang tersebut sudah tua, sebentar lagi mereka menuju alam barzah (menuju alam kubur). Sebenarnya tugas mereka sudah selesai memberikan arahan, petunjuk, dorongan, dan motifasi tentang islam kepada kita, tetapi semua itu tidak terealisasi dengan baik, hanya sebatas generasi setelah dianya saja, sedangkan untuk seterusnya tidak adalagi yang melanjutkan. Semua ini faktor dari eksternal islam, karena mereka menginginkan islam ini sempit.
Seperti kejadian akhir-akhir ini, banyak film-film terbaru yang mencerminkan bahwaorang muslim adalah orang yang melakukan keributan, kekacauan, dan doyan dengan perbuatan-perbuatan yang tidak mulia. Film-film tersebut antara lain:
1.       Taken.
Dalam film ini penjahan ditandai dengan tato bulan bintang ditangannya. Lambang bulan bintang adalah lambang yang sering digunakan pada masjid oleh orang-orang muslim (lambang tempat ibadah bagi orang muslim).
2.       From Paris With Love
Alur cerita di film ini tentang pemberantasan penjahat, kaparat yang terburu atau teroris, dari Pakistan. Negara Pakistan mayoritasnya adalah muslim. Dari kejadian tersebut mereka menggambarkan muslim sebagai teroris.
3.       Harol and Kumar
Di film ini mereka tidak segan-segan mengkleim bahwa muslim adalah teroris
Masih banyak film-film lain yang menggambarkan muslim adalah teroris. Nauzubillahiminzalib....semoga Allah memberikan pentunjuk kepada mereka.
Sekarang dunia sudah melakukan pemaparan secara edukatif untuk  mempersempit bagi ummat muslim, supaya generasi-generasi muslim selanjutnya enggan untuk mendalami ajaran Islam, bahkan mereka melakukan tindakan terhadap ummat-ummat muslim.
Bagaimana islam  kedepan apabila kasus ini terjadi terus menerus? Media dikuasai oleh orang non-muslim. Jadi, untuk memaparkan bahwa muslim tidak seperti yang digambarkan oleh media-media barat, sepertinya kita tidak ada tempat.
Untuk menghindari kejadia seperti yang kita jelaskan diatas tidak berlajut, langkah awalnya yaitu mengenal dirikita sendiri dalam kontek islam, setelah itu selesai baru kita lanjut dengan membina keluarga, dan sahabat dekat agar mereka lebih mengenal apa itu islam yang sesungguhnya (sesuai dengan al-qur’an, hadits, dan ijmak ulama). Dari situlah satu-satunya jalan keluar yang bisa kita tempuh untuk membantah media-media yang menggambarkan islam adalah teroris. Apabila ini sanggup kita jalankan Allhamdulillah....dengan izin Allah kita bisa menjadi ummat yang bersatu, negara-negara non-muslim takut menghujad kita, bahkan mereka segan kepada ummat muslim, sehingga kita aman dalam mengerjakan ibadah, mempedalam ilmu, dan sebagainya. Bayangkan kalo kita tidak bisa menghindarinya, maka orang-orang non-muslim tidak segan-segan menghujat kita, berani-beraninya mereka mengkleim muslim sebagai teroris.
Sepuluh atau duapulauh tahun mendatang cucu-cucu kita, mereka tidaklagi mengagung-agungkan kepada kita yang taat kepada Allah, ranjin beribadah, seorang guru pengajian, atau seorang ulama. Akan tetapi mereka menceritakan kepada generasi-generasi seterusnya agar tidak mencontahkan sikap-sikap kakeknya yang selalu membuat kekacauan, keributan, mengajarkan hal-hal yang dilarang, dan memotifasi ummat untuk menjadi teroris.
Mereka tidak salah, karena mereka tidak tau bagaimana islam, mereka tidak ada tempat untuk mencari tau, dan mereka tidak adalagi yang memberi tau tentang islam yang sebenarnya. Nauzubillahiminzalib......

Sabtu, 01 Januari 2011

MENGENAL DIRI


Untuk mengenalkan diri kepada Allah terlebih dahulu kita harus lebih mengenal diri kita sendiri. Tidak ada sesuatu yang lebih dekat dengan kita melainkan kita sendiri. Maka jika kita tidak mengenal diri kita, mana mungkin dapat mengenal tuhan Dzat Yang Maha Halus?
Seandainya kita mengatakan : Aku mengenal diri”, maka yang kita kenal itu bukannya kita yang sebenarnya tetapi hanyalah tubuh fisik yang berupa tangan, kaki, kapal dan  badan. Kita tidak mengenal apa yang ada dalam batin kita yang merupakan sesuatu yang karenanya bila kita marah, itu berarti mencari permusuhan, bila bernafsu, berarti ingin kawin, bila lapar, berarti ingin makan. Dalam hal-hal seperti ini kita tidak berbeda dengan hewan.
Kita harus mengenal diri kita. Dari mana dan untuk apa kita hidup? Dengan apa kita bahagia dan hal-hal apasaja yang membuat kita sengsara. Didalam diri kita berkumpul beberapa karakter; karakter hewan, karakter binatang buas dan karakter malaikat. Setiap karakter tersebut mempunyai santapan dan kebahagiaannya sendiri-sendiri.
·         Kebagiaan hewan terletak pada makan, minum, tidur dan kawin. Kalau kita termasuk bagian ini, maka kita akan mengerjakan apapun dan pemenuhan perut dan nafsu seksual semata.
·         Kebahagiaan binatang buas terletak pada menghantam dan menyerang, sedangkan kebahagiaan setan terletak pada perbuatan tipu menipu, menganiaya dan memperdayakan.
·         Sementara kebahagiaan malaikat terletak pada musyahadah hadlirat Ilahi. Angkatan murka dan nafsu tidak akan sampai kepada mereka.
Karakter-karakter itu diciptakan bukan agar kita menjadi tawanan, tetapi sebaliknya, ia diciptakan untuk menjadi tawanan kita dan pengendali atau bekal dalam perjalanan kita. Kalau tujuan tersebut telah tercapai, maka kita dapat mempertahankannya dan membawanya kepada kebahagiaan. Kita perlu mengetahui pengertian-pengertian ini, sehingga dapat mengenal sedikit demi sedikit siapa diri kita.
Kalau kita ingin mengenal lebih dekat lagi, maka yang harus kita ketahui adalah kita terdiri daridua hal yaitu hati dan apa yang dinamakan jiwa dan ruh.
Jiwa adalah hati. Ia laksana matahari (penerang), sekaligus merupakan hakekat kita yang terdalam. Sebab jasad adalah permulaan dan dia akan rusak, sedangkan jiwa adalah akhir dan ialah yang pertama dan disebut hati (jantung). Tapi jantung yang dimaksud bukanlah sepotong daging yang ada di rongga dada sebelah kiri. Sebab, kalau itu pada binatang dan mayat pun ada.
Segala sesuatu yang dapat kita lihat melalui mata lahir adalah termasuk alam. Alam yang dimaksud adalah dunia yang bisa dilihat, sedangkan hakikat hati bukanlah dari dunia yang bisa dilihat ini, tetapi dari alam ghaib. Didunia ini dia asin dan potongan daging itu adalah kendaraannya. Adapun semua anggota badan merupakan bala-tetntara atau parajurit-prajuritnya. Dialah sang raja.
Nyawa (ruh) hewani pada apapun juga, mengikuti dan mengiringinya. Dan mengetahui hakekatnya serta mengenal sifat-sifatnya merupaka kunci bagi mengenal Allah swt. Karenanya, kita harus berjuang hingga dapat mengenalinya. Sebab ia  merupakan unsur mulia dan anasir malaikat yang sumber aslnya adalah dari hadlirat Ilahi. Dari tempat itu dia datng dan kepadanya ia akan kembali.
Dari penjelasan diatas maka landasan pertama berjuan untuk mendekatkan dirinya kepa Allah adal mengenal “pasukan hati”, sebab arang yang tidak mengenal pasukannya, perjuangan tidak sah.
Hati diciptakan untuk amal akhirat, demi mencari kebahagiaannya. Kebahagiaannya adalah mengenal Tuhannya. Sedangkan mengenal Tuhannya dicapai melalui tindakan, sementara hati hanya termasuk kumpulan alamnya. Hati tidak dapat mencapai pengenalan terhadap keajaiban-keajaiban alam kecuali melalui indera. Indera sendiri bersumber dari hati dan raga merupakan kendaraannya. Lalu selanjutnya, hati melakukan pengenalan terhadap buruan dan perangkapnya. Adapun raga, ia hanya dapat berdiri dengan makanan, minuman, suhu, ia lemah, mudah terserang lapar dan haus, rentan terhadap bahaya air dan api. Ia juga rentan terhadap penyakit.
Kita juga perlu mengenal dua macam pasukan. Pertama pasukan lahir, yang berupa nafsu dan angkara murka, dimana tempatnya pada kedua tangan, kedua kaki, kedua mata, kedua telinga dan segenap anggota badan. Kedua pasukan batin, tempatnya dibenak, berupa kekuatan khayali /imajinasi, daya pikir, day ingat,daya hafal dan daya angan-angan.
Masing-masing kekuatan, dari kekuatan-kekuatan ini, mempunyai fungsi tertentu. Bila salah satu dari kekuatan-kekuatan itu lemah, maka lemah pula keadaan manusia di dunia maupun di akhirat. Kedua pasukan ini berada dalam hati. Ia menjadi komandan terhadap keduanya. Bila ia memerintahkan lisan untuk berzikir, maka lisan pun berzikir, bila ia memerintahkan tangan untuk memukul, tangan pun memukul. Demikian pula pada panca indera. Dengan demikian, manusia dapat menjaga dirinya sendiri agar dapat menyimpan perbekalan bagi kehidupannya di akhirat.
Dengan bergatinya tahun bukan berarti umur kita semakin bertambat, akan tetapi malah semekin mendekatkan kita dengan kematian, karena tidak ada satupun yang abadi sealai Sang Pencipta. Untuk itu kita sebagai manuasia yang telah di ciptakan oleh Allah , maka kita harus mendekat kan diri kepada Nya, yaitu dengan memperbanyak zikir, mengerjakan perintah Nya dan menjauhi laranganNya.

Sabtu, 25 Desember 2010

7 KEAJAIBAN MEMBACA DAN MENULIS


1.      Membaca buku sama dengan menumbuhkan dendrit
Menurut sebuah penelitian, kegemaran memebaca buku akan membuat seorangtidak  mudah terkena pikun pada masa tua. Membaca buku akan menumbuhkan dendrit-salah satu komponen saraf penting di otak yang berfungsi mengalirkan dan mengait-ngaitkan informasi.

2.      Pikiran sadar  dan tak sadar berkerja serentak saat membaca
Ada dua potensi dahsyat yang bekerja didaalam diri-lebih-dalam  (inner self) manusia saat membaca. Dua potensi dahsyat itu adalah pikiran sadar yang menagkap bagian per bagian buku dan merekamnya, serta pikiran tak sadar yang menagkap secara keseluruhan buku dan merekamnya. Hasil yang diserap pikiran sadar dapat diketahui langsung, sementara yang diserap pikiran tak sada akan berfungsi setelah beberapa waktu.
3.      Memmbaca buku sama dengan mengaktifkan “learning connection”
Susunan saraf otak mirip jaringan kabel. Kesadaran atau pemahaman akan sesuatu akan muncul bila kabel-kabel atau sarf-saraf itu berhubungan secara efektif. Membaca akan membuat proses hubungan antarkabel berlangsung cepat dan efektif.

4.      Membaca buku berarti “mengolahkan” pikiran

Manusia memiliki otot-otot yang menggerakkan tubuhnya. Apabila otot-otot dikaki, leher, dan dimanapun beradanya tidak dibiasakan digerakkan, maka otot-otot itu akan kaku. Demikian jugalah saraf-saraf di otak manusia. Saraf-saraf itu bagaikan otot yang akan berfungsi efektif bila dilatih digerakkan secara rutin dan konsisten.

5.      Tangan ibarat jembatan yang mengalirkan kepribadian saat seseorang menulis
Bagaimana memahami yang ada “didalam” diri kita? Bagaimana memprediksi secara persisi keadaan diri kita? Alirkanlah semuahal yang ada “di dalam” lewat tangan anda. Tampung hal-hal yang mengalir lewat tangan anda itu ke lembaran-lembaran kertas. Siapa kita dan bagaimana wujud kita sebenarnya, insya Allah, akan dapat diketahui sedikit demi sedikit lewat ekspresi spontan yang dituliskan.

6.      Menulis sama dengan menata pikiran

Setiap hari, bahkan setiap detik, adasaja yang mampir dibenak kita. Kadang kadang, malam kita dibuat pusing dan stres lantara terlalu banyak yang harus kita tampung di kepala kita. Menulis hal-hal yang ada dikepala kita berarti menata benak kita. Apaabila pikiran terorganisasi, nyamanlah hidup kita. Dan apapun yang akan kita sampaikan, baik lewat lisan maupun lewat tulisan, bila pikiran kita tertata, maka membuat sipeneerima pesan tidak mengalami kebingungan. Apabila pikiran tak bertata, kekacauan akan melanda.

7.      Menulis secara teratur akan membuat seseorang dimudahkan untuk mengenali dirinya

Himpunlah keadaan diri kita dilembaran-lembaran kertas secara peridik. Lihatlah apa yang kita tuliskan dilembaran kertas tersebut. Apabila yang tampil disitu seseorang yang anda kenali betul atau seseorang yang senantiasa  menempel didiri orang lain?

Sabtu, 11 Desember 2010

MENGISLAMKAN INDONESIA DENGAN KEKUATAN POLITIK

Harapan dan Kegagalan 
oleh: Rifadhli Delima

      Dalam tataran dunia Islam internasional, ummat Islam di Indonesia dapat disebut sebagai komunitas Muslim paling besar yang berada dalam satu wilayah kenegaraan. Oleh karena itu menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan ummat Islam ditengah-tengah komunitas Muslim terbesar di dunia ini. Pertanyaan-pertanyaan seperti: seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum Muslimin Indonesia itu terhadap peranan dalam membawa Indonesia kepada arah tujuan tertentu misalnya, dapat dijawab dengan memaparkan sejarah alur perjalanan politiknya.
disamping itu, proses sejarah perjuangan ummat Islam menjelang dan pasca kemerdekaan yang diwarnai benturan dengan tradisi yang sebelumnya berlaku serta tindakan-tindakan tokoh-tokoh Islam pada masa itu setidaknya menjadi bahan tela’ah pada masa ini. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan kepda kita bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat itu bukanlah proses yang dapat menjelma seketika.
Untuk itulah, hamba coba menuliskannya. Tentu saja yang hamba tulis ini tidak dapat menguraikan secara lebih lengkap dan detail mengenai paparan sejarah perjuangan ummat Islam menjelang dan pasca kemerdekaan Indonesia, akan tetapi setidaknya apa yang hamba paparkan disini dapat memberi gambaran tentang perjalanan perjuangan politik ummat Islam sebelum kemerdekaan sampai pada awal periode pemerintahan Orde Baru, yang disebut juga dengan politik konfrontativ antara pemerintahan Orde Baru dengan Islam.

1. Islam Pada Masa Kemerdekaan Indonesia.
Pendudukan Jepang di Indonesia pra kemerdekaan, telah banyak memberikan pengalaman hidup kepada para pemuka Islam. namun, seiring dengan semakin lemahnya langkah strategi Jepang memenangkan perang yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai memberi simpati penuh dan loyalitasnya kepada kepada tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya jepang lebih mendukung kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia pada masa mendatang. Maka tidak mengherankan ketika itu jika beberapa badan dan komite negara yang terbentuk seperti dewan penasehat dan BPUPKI kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok Islam.[1] Karena demikian itulah, bisa dikatakan bahwa BPUPKI ialah “bukan badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Muhammad Hatta bersikukuh agar anggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai golongan dalam masyarakat Indonesia pada saat itu”.[2]
Perdebatan panjang nan sengit mengenai dasar negara di BPUPKI yang berakhir dengan lahirnya apa yang kemudian disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat hasil musyawarah yang paling penting yang lahir pada saat itu adalah ”Negara berdasar atas ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat tersebut bermakna adalah, Indonesia merdeka bukan menjadi negara sekuler dan bukan pula negara Islam.[3]
Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tetapi semua versi mengarah kepada Muhammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia bagian Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari tanggal 17 Agustus 1945. Namun Shegeta Nishijima opsir Jepang yang ditemuinya pada saat itu menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan Latuharhary yang menyampaikan keberatan tersebut. Keseriusan tuntutan itu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary bersama dengan Maramis, yang merupakn tokoh Kristen dari Indonesia timur lainnya telah menyetujui rumusan musyawarah itu saat sidang BPUPKI.[4]
Pada akhirnya, dalam masa tersebut, status penerapan Piagam Jakarta sebagai azas dasar negara mengalami masa kritis yang kemudian berimbas kepada penghapusan. Isa Anshari menyebutnya sebagai” kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh ummat Islam sebagai suatu permainan sulap yang masih diliputi kabut gelap yang merupakan suatu kelicikan politik  terhadap cita-cita ummat Islam.[5]

2. Islam Pada Masa Pasca Kemerdekaan Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950.
Selama hampirnya lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki negara kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil menguasai, dimana kemudian Belanda mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia yang baru berdiri pada saat itu. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakn berlaku sebagai Konstitusi Republik Indonesia yang merupakan satu dari 16 bagian dari negara Republik Indonesia Serikat, Konstitusi RIS sendiri bila didalami, sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi suara ummat Islam, muqaddimah Konstitusi ini misalnya, sama sekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagai rancangan UUD 1945 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh paham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan deklarasi HAM versi PBB.[6]
Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatra Timur dan negara Indonesia timur, salah seorang tokoh ummat Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai” Mosi Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat kembali membentukkan Negara Kesatuan Republik Indonesia bedasarkan Proklamasi 1945. Dengan demikian, konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950.
Akan tetapi jika dikaitkan dengan ketetapan Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan, sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam muqaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa ”Negara Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan.[7] “kelebihan” lain dari UUD Sementara 1950 ini terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD Sementara 1950.[8] Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil ummat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang perkawinan ummat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat benturan dengan kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional.[9] Setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak memikirkan lagi pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.[10]
Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam pemilihan umum untuk memilih dan membentuk Majelis Konstituante pada akhir yahun 1955. Majelis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majelis ini dibubarkan dengan dekrit presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan ketetapan Islam dalam peristiwa dekrit ini konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD lebih dari sekedar sebuah dokumen historis.[11] Namun dalam tataran aplikasinya, lagi-lagi faktor politik adalah penentu utama dalam hal ini.

3. Islam dan Benturan Politik Pada Masa Orde Lama.
Rasanya tidak berlebihan kalau mengatakan bahwa Orde Lama adalah eranya antek nasionalis dan komunis. Yang mana pada masa tersebut ummat Islam sedikit mengalami masa transisi dalam perjuangan untuk menggapai cita-citanya. Yang mana pada saat itu salah satu partai yang berazas Islam, Masyumi harus dibubarkan tanggal 15 Agustus 1960 oleh pemerintah karena tokoh-tokohnya dituduh terlibat pemberontakan PRRI di Sumatra Barat. Sementara Nahdhatul Ulama (NU) pada pasca Masyumi dibubarkan menjadi partai yang mendukung pemerintah. Hal ini tampak dari NU yang terlibat kedalam Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dan masuk dalam kabinet pada saat itu.[12]
Kondisi benturan politik pada saat itu diperkuat lagi dengan terjadinya perselisihan antara Natsir dengan Soekarno tentang permasalahan Irian Barat, yang pada saat itu Natsir sebagai tokoh Masyumi menginginkan penyelesaian masalah Irian Barat dengan perjanjian Konfrensi Meja Bundar (KMB) yang telah terikat. Hasil dari pertemuan tersebut menghasilkan suara dengan berbanding lima orang loyal pada Soekarno dan dua belas orang memihak Natsir.[13] Kondisi ini membuat Soekarno menambah kebenciannya akan Masyumi.
Setelah Masyumi dibubarkan dari kancah perpolitikan Indonesia karena alasan diatas. Pada tahun berikutnya, para pembesarnya yang berada ditanah air pada waktu itu, ditangkap dan dipenjarakan, sementara pihak-pihak pesantren merapat ke istana. Penangkapan tokoh-tokoh Masyumi tanpa prosedur hukum yang jelas tersebut mamaknai bahwa pemerintah Orde Lama adalah pemerintah yang sangat otoriter.[14] Sementara di lain hal, memberi pengertian pada kita bahwa kekuatan Islam mengalami kekalahan yang kesekian kalinya dalam konteks politik nasional.

4. Politik Konfrontativ Pemerintah Orde Baru Dengan Islam.
Menjelang berakhirnya demokrasi terpimpin dan diantara detik-detik peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru (Orba). Kekuatan Islam tampil kembali menggalang kerja sama dengan kelompok ABRI pada saat itu dalam hal menyapu bersih seluruh kekuatan PKI dan antek-anteknya. Pada saat itu, peran ummat Islam sebagai pelaku paling menentukan dalam mengganyang PKI. Itu terlihat, dari hampir seluruh kesatuan aksi seperti KAMI, KAPI, KAP Gestapu dan berbagai macam organisasi kesatuan lainnya, puncak kepemimpinannya dikendalikan oleh tokoh-tokoh Islam.[15]
Kerjasama kedua belah pihak terus berlanjut sampai bubarnya  kekuatan Komunisme tersebut dari republik ini dan sampai Soekarno turun dari pucuk pemerintahan terpimpinnya, karena pada saat itu, militer tidak bisa berharap banyak dari kekuatan non-Islam untuk bekerjasama dalam mengulingkan pemerintahan Soekarno.
Kekuatan-kekuatan non-Islam yang tidak loyal pada Soekarno dan anti Komunisme pada saat itu umumnya sangat senang melihat PKI lumpuh. Namun kekuatan anti Soekarno yang dimotori militer dan dan unsur-unsur kekuatan politik Islam dipartai-partai politik dan kesatuan aksi akhirnya berhasil memaksa Soekarno turun dari puncak kekuasaannya. Besar pengaruh dan peranan ummat Islam dalam pembubaran PKI dan meruntuhkan Orde Lama bersama militer, yang berarti memiliki andil besar dam proses kelahiran Orba, telah mempengaruhi persepsi para pemimpin politik Islam dalam menentukan strategi selanjutnya.
Bagi mereka, memasuki era Orba merupakan kesempatan yang tepat untuk mengkonsolidasi kekuatan-kekuatan politik Islam melalui membangun kembali partai-partai Islam, namun pada saat kekuatan-kekuatan politik Islam sedang semangat mengkonsolidasi partai-partai islam, kelompok  koalisi Orba justru memandang perlunya pembatasan ruang gerak partai politik secara ketat. Dalam pada itu Orba yang sedang berkuasa, memutuskan untuk menerapkan strategi stabilitas politik yang ketat dengan menghapuskan politik kepartaian. Dengan demikian, jelas sekali terjadi revitalitas politik antara Islam dengan kebijakan yang mau diterapkan oleh pemerintahan Orba.
Kenyataan perbedaan cara pandang politik tersebut berhimpit dengan latar belakang kultural para aktor koalisi anti Orba disekitar Soeharto yang didominasi oleh kalangan sekuler yang secara potensial memiliki benih-benih permusuhan dengan kelompok Islam. Atas dasar itu, tidak mengherankan bila mitra kerja yang terbina antara ummat Islam dengan militer yang merupakan kekuatan utama pada masa transisi Orde Lama berubah menjadi konfrontasi atau pertentangan hingga menjelang akhir dekade 1980-an.
Secara umum, hubungan konfrontasi antara kekuatan Islam dengan pemerintahan Orba, dapat dikategorikan kedalam dua bagian, yaitu pertentangan politik partai dan pertentangan yang terkait dengan kebijakan publik.
Konfrontasi yang masuk kedalam bagian pertama adalah ketegangan tentang masalah tidak diizinkannya merehabilitasi kembali Masyumi dan mendirikan partai atau hal-hal yang berbau Islam lainnya. Sedangkan pertentangan yang keselanjutnya adalah masalah RUU Perkawinan, larangan libur sekolah pada bulan Ramadhan dan hal yang lainnya.[16] 

Referensi
Bakhtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Paramadina, Jakarta, Oktober 1998.
Ramli Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Dalam Konstitusi-Konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara UI, Jakarta, Mei 2005.
Muh Nurdin & Ibnu Hermawan, Majalah Saksi Kiprah dan Jejak Masyumi, 2005.
Eep Saifullah Fattah, Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000.


[1] Bakhtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Paramadina, Jakarta, 1998, hal. 84.
[2] Ramli Hutabarat, Kedudukan hukum Islam konstitusi-konstitusi Indonesia dan peranannya Dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara UI, Jakarta, 2005, Hal. 85. 
[3] Ibid., hal.89-90.
[4] Ibid., hal. 92-93
[5] Op.cit., hal. 91
[6] Op.cit., hal. 103.
[7] Ibid., hal. 110-111.
[8] Ibid., hal. 112.
[9] Ibid., hal. 113.
[10] Ibid., hal. 115.
[11] Ibid., hal. 131-133.
[12] Muh Nurdin & Ibnu Hermawan, Majalah Saksi kiprah dan jejak Masyumi, 2005
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Eep Saifullah Fattah, Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000.
[16] Bakhtiar Effendy, op.cit., hal. 111-112