Sabtu, 25 Desember 2010

7 KEAJAIBAN MEMBACA DAN MENULIS


1.      Membaca buku sama dengan menumbuhkan dendrit
Menurut sebuah penelitian, kegemaran memebaca buku akan membuat seorangtidak  mudah terkena pikun pada masa tua. Membaca buku akan menumbuhkan dendrit-salah satu komponen saraf penting di otak yang berfungsi mengalirkan dan mengait-ngaitkan informasi.

2.      Pikiran sadar  dan tak sadar berkerja serentak saat membaca
Ada dua potensi dahsyat yang bekerja didaalam diri-lebih-dalam  (inner self) manusia saat membaca. Dua potensi dahsyat itu adalah pikiran sadar yang menagkap bagian per bagian buku dan merekamnya, serta pikiran tak sadar yang menagkap secara keseluruhan buku dan merekamnya. Hasil yang diserap pikiran sadar dapat diketahui langsung, sementara yang diserap pikiran tak sada akan berfungsi setelah beberapa waktu.
3.      Memmbaca buku sama dengan mengaktifkan “learning connection”
Susunan saraf otak mirip jaringan kabel. Kesadaran atau pemahaman akan sesuatu akan muncul bila kabel-kabel atau sarf-saraf itu berhubungan secara efektif. Membaca akan membuat proses hubungan antarkabel berlangsung cepat dan efektif.

4.      Membaca buku berarti “mengolahkan” pikiran

Manusia memiliki otot-otot yang menggerakkan tubuhnya. Apabila otot-otot dikaki, leher, dan dimanapun beradanya tidak dibiasakan digerakkan, maka otot-otot itu akan kaku. Demikian jugalah saraf-saraf di otak manusia. Saraf-saraf itu bagaikan otot yang akan berfungsi efektif bila dilatih digerakkan secara rutin dan konsisten.

5.      Tangan ibarat jembatan yang mengalirkan kepribadian saat seseorang menulis
Bagaimana memahami yang ada “didalam” diri kita? Bagaimana memprediksi secara persisi keadaan diri kita? Alirkanlah semuahal yang ada “di dalam” lewat tangan anda. Tampung hal-hal yang mengalir lewat tangan anda itu ke lembaran-lembaran kertas. Siapa kita dan bagaimana wujud kita sebenarnya, insya Allah, akan dapat diketahui sedikit demi sedikit lewat ekspresi spontan yang dituliskan.

6.      Menulis sama dengan menata pikiran

Setiap hari, bahkan setiap detik, adasaja yang mampir dibenak kita. Kadang kadang, malam kita dibuat pusing dan stres lantara terlalu banyak yang harus kita tampung di kepala kita. Menulis hal-hal yang ada dikepala kita berarti menata benak kita. Apaabila pikiran terorganisasi, nyamanlah hidup kita. Dan apapun yang akan kita sampaikan, baik lewat lisan maupun lewat tulisan, bila pikiran kita tertata, maka membuat sipeneerima pesan tidak mengalami kebingungan. Apabila pikiran tak bertata, kekacauan akan melanda.

7.      Menulis secara teratur akan membuat seseorang dimudahkan untuk mengenali dirinya

Himpunlah keadaan diri kita dilembaran-lembaran kertas secara peridik. Lihatlah apa yang kita tuliskan dilembaran kertas tersebut. Apabila yang tampil disitu seseorang yang anda kenali betul atau seseorang yang senantiasa  menempel didiri orang lain?

Sabtu, 11 Desember 2010

MENGISLAMKAN INDONESIA DENGAN KEKUATAN POLITIK

Harapan dan Kegagalan 
oleh: Rifadhli Delima

      Dalam tataran dunia Islam internasional, ummat Islam di Indonesia dapat disebut sebagai komunitas Muslim paling besar yang berada dalam satu wilayah kenegaraan. Oleh karena itu menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan ummat Islam ditengah-tengah komunitas Muslim terbesar di dunia ini. Pertanyaan-pertanyaan seperti: seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum Muslimin Indonesia itu terhadap peranan dalam membawa Indonesia kepada arah tujuan tertentu misalnya, dapat dijawab dengan memaparkan sejarah alur perjalanan politiknya.
disamping itu, proses sejarah perjuangan ummat Islam menjelang dan pasca kemerdekaan yang diwarnai benturan dengan tradisi yang sebelumnya berlaku serta tindakan-tindakan tokoh-tokoh Islam pada masa itu setidaknya menjadi bahan tela’ah pada masa ini. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan kepda kita bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat itu bukanlah proses yang dapat menjelma seketika.
Untuk itulah, hamba coba menuliskannya. Tentu saja yang hamba tulis ini tidak dapat menguraikan secara lebih lengkap dan detail mengenai paparan sejarah perjuangan ummat Islam menjelang dan pasca kemerdekaan Indonesia, akan tetapi setidaknya apa yang hamba paparkan disini dapat memberi gambaran tentang perjalanan perjuangan politik ummat Islam sebelum kemerdekaan sampai pada awal periode pemerintahan Orde Baru, yang disebut juga dengan politik konfrontativ antara pemerintahan Orde Baru dengan Islam.

1. Islam Pada Masa Kemerdekaan Indonesia.
Pendudukan Jepang di Indonesia pra kemerdekaan, telah banyak memberikan pengalaman hidup kepada para pemuka Islam. namun, seiring dengan semakin lemahnya langkah strategi Jepang memenangkan perang yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai memberi simpati penuh dan loyalitasnya kepada kepada tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya jepang lebih mendukung kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia pada masa mendatang. Maka tidak mengherankan ketika itu jika beberapa badan dan komite negara yang terbentuk seperti dewan penasehat dan BPUPKI kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok Islam.[1] Karena demikian itulah, bisa dikatakan bahwa BPUPKI ialah “bukan badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Muhammad Hatta bersikukuh agar anggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai golongan dalam masyarakat Indonesia pada saat itu”.[2]
Perdebatan panjang nan sengit mengenai dasar negara di BPUPKI yang berakhir dengan lahirnya apa yang kemudian disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat hasil musyawarah yang paling penting yang lahir pada saat itu adalah ”Negara berdasar atas ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat tersebut bermakna adalah, Indonesia merdeka bukan menjadi negara sekuler dan bukan pula negara Islam.[3]
Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tetapi semua versi mengarah kepada Muhammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia bagian Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari tanggal 17 Agustus 1945. Namun Shegeta Nishijima opsir Jepang yang ditemuinya pada saat itu menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan Latuharhary yang menyampaikan keberatan tersebut. Keseriusan tuntutan itu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary bersama dengan Maramis, yang merupakn tokoh Kristen dari Indonesia timur lainnya telah menyetujui rumusan musyawarah itu saat sidang BPUPKI.[4]
Pada akhirnya, dalam masa tersebut, status penerapan Piagam Jakarta sebagai azas dasar negara mengalami masa kritis yang kemudian berimbas kepada penghapusan. Isa Anshari menyebutnya sebagai” kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh ummat Islam sebagai suatu permainan sulap yang masih diliputi kabut gelap yang merupakan suatu kelicikan politik  terhadap cita-cita ummat Islam.[5]

2. Islam Pada Masa Pasca Kemerdekaan Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950.
Selama hampirnya lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki negara kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil menguasai, dimana kemudian Belanda mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia yang baru berdiri pada saat itu. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakn berlaku sebagai Konstitusi Republik Indonesia yang merupakan satu dari 16 bagian dari negara Republik Indonesia Serikat, Konstitusi RIS sendiri bila didalami, sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi suara ummat Islam, muqaddimah Konstitusi ini misalnya, sama sekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagai rancangan UUD 1945 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh paham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan deklarasi HAM versi PBB.[6]
Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatra Timur dan negara Indonesia timur, salah seorang tokoh ummat Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai” Mosi Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat kembali membentukkan Negara Kesatuan Republik Indonesia bedasarkan Proklamasi 1945. Dengan demikian, konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950.
Akan tetapi jika dikaitkan dengan ketetapan Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan, sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam muqaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa ”Negara Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan.[7] “kelebihan” lain dari UUD Sementara 1950 ini terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD Sementara 1950.[8] Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil ummat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang perkawinan ummat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat benturan dengan kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional.[9] Setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak memikirkan lagi pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.[10]
Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam pemilihan umum untuk memilih dan membentuk Majelis Konstituante pada akhir yahun 1955. Majelis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majelis ini dibubarkan dengan dekrit presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan ketetapan Islam dalam peristiwa dekrit ini konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD lebih dari sekedar sebuah dokumen historis.[11] Namun dalam tataran aplikasinya, lagi-lagi faktor politik adalah penentu utama dalam hal ini.

3. Islam dan Benturan Politik Pada Masa Orde Lama.
Rasanya tidak berlebihan kalau mengatakan bahwa Orde Lama adalah eranya antek nasionalis dan komunis. Yang mana pada masa tersebut ummat Islam sedikit mengalami masa transisi dalam perjuangan untuk menggapai cita-citanya. Yang mana pada saat itu salah satu partai yang berazas Islam, Masyumi harus dibubarkan tanggal 15 Agustus 1960 oleh pemerintah karena tokoh-tokohnya dituduh terlibat pemberontakan PRRI di Sumatra Barat. Sementara Nahdhatul Ulama (NU) pada pasca Masyumi dibubarkan menjadi partai yang mendukung pemerintah. Hal ini tampak dari NU yang terlibat kedalam Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dan masuk dalam kabinet pada saat itu.[12]
Kondisi benturan politik pada saat itu diperkuat lagi dengan terjadinya perselisihan antara Natsir dengan Soekarno tentang permasalahan Irian Barat, yang pada saat itu Natsir sebagai tokoh Masyumi menginginkan penyelesaian masalah Irian Barat dengan perjanjian Konfrensi Meja Bundar (KMB) yang telah terikat. Hasil dari pertemuan tersebut menghasilkan suara dengan berbanding lima orang loyal pada Soekarno dan dua belas orang memihak Natsir.[13] Kondisi ini membuat Soekarno menambah kebenciannya akan Masyumi.
Setelah Masyumi dibubarkan dari kancah perpolitikan Indonesia karena alasan diatas. Pada tahun berikutnya, para pembesarnya yang berada ditanah air pada waktu itu, ditangkap dan dipenjarakan, sementara pihak-pihak pesantren merapat ke istana. Penangkapan tokoh-tokoh Masyumi tanpa prosedur hukum yang jelas tersebut mamaknai bahwa pemerintah Orde Lama adalah pemerintah yang sangat otoriter.[14] Sementara di lain hal, memberi pengertian pada kita bahwa kekuatan Islam mengalami kekalahan yang kesekian kalinya dalam konteks politik nasional.

4. Politik Konfrontativ Pemerintah Orde Baru Dengan Islam.
Menjelang berakhirnya demokrasi terpimpin dan diantara detik-detik peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru (Orba). Kekuatan Islam tampil kembali menggalang kerja sama dengan kelompok ABRI pada saat itu dalam hal menyapu bersih seluruh kekuatan PKI dan antek-anteknya. Pada saat itu, peran ummat Islam sebagai pelaku paling menentukan dalam mengganyang PKI. Itu terlihat, dari hampir seluruh kesatuan aksi seperti KAMI, KAPI, KAP Gestapu dan berbagai macam organisasi kesatuan lainnya, puncak kepemimpinannya dikendalikan oleh tokoh-tokoh Islam.[15]
Kerjasama kedua belah pihak terus berlanjut sampai bubarnya  kekuatan Komunisme tersebut dari republik ini dan sampai Soekarno turun dari pucuk pemerintahan terpimpinnya, karena pada saat itu, militer tidak bisa berharap banyak dari kekuatan non-Islam untuk bekerjasama dalam mengulingkan pemerintahan Soekarno.
Kekuatan-kekuatan non-Islam yang tidak loyal pada Soekarno dan anti Komunisme pada saat itu umumnya sangat senang melihat PKI lumpuh. Namun kekuatan anti Soekarno yang dimotori militer dan dan unsur-unsur kekuatan politik Islam dipartai-partai politik dan kesatuan aksi akhirnya berhasil memaksa Soekarno turun dari puncak kekuasaannya. Besar pengaruh dan peranan ummat Islam dalam pembubaran PKI dan meruntuhkan Orde Lama bersama militer, yang berarti memiliki andil besar dam proses kelahiran Orba, telah mempengaruhi persepsi para pemimpin politik Islam dalam menentukan strategi selanjutnya.
Bagi mereka, memasuki era Orba merupakan kesempatan yang tepat untuk mengkonsolidasi kekuatan-kekuatan politik Islam melalui membangun kembali partai-partai Islam, namun pada saat kekuatan-kekuatan politik Islam sedang semangat mengkonsolidasi partai-partai islam, kelompok  koalisi Orba justru memandang perlunya pembatasan ruang gerak partai politik secara ketat. Dalam pada itu Orba yang sedang berkuasa, memutuskan untuk menerapkan strategi stabilitas politik yang ketat dengan menghapuskan politik kepartaian. Dengan demikian, jelas sekali terjadi revitalitas politik antara Islam dengan kebijakan yang mau diterapkan oleh pemerintahan Orba.
Kenyataan perbedaan cara pandang politik tersebut berhimpit dengan latar belakang kultural para aktor koalisi anti Orba disekitar Soeharto yang didominasi oleh kalangan sekuler yang secara potensial memiliki benih-benih permusuhan dengan kelompok Islam. Atas dasar itu, tidak mengherankan bila mitra kerja yang terbina antara ummat Islam dengan militer yang merupakan kekuatan utama pada masa transisi Orde Lama berubah menjadi konfrontasi atau pertentangan hingga menjelang akhir dekade 1980-an.
Secara umum, hubungan konfrontasi antara kekuatan Islam dengan pemerintahan Orba, dapat dikategorikan kedalam dua bagian, yaitu pertentangan politik partai dan pertentangan yang terkait dengan kebijakan publik.
Konfrontasi yang masuk kedalam bagian pertama adalah ketegangan tentang masalah tidak diizinkannya merehabilitasi kembali Masyumi dan mendirikan partai atau hal-hal yang berbau Islam lainnya. Sedangkan pertentangan yang keselanjutnya adalah masalah RUU Perkawinan, larangan libur sekolah pada bulan Ramadhan dan hal yang lainnya.[16] 

Referensi
Bakhtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Paramadina, Jakarta, Oktober 1998.
Ramli Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Dalam Konstitusi-Konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara UI, Jakarta, Mei 2005.
Muh Nurdin & Ibnu Hermawan, Majalah Saksi Kiprah dan Jejak Masyumi, 2005.
Eep Saifullah Fattah, Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000.


[1] Bakhtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Paramadina, Jakarta, 1998, hal. 84.
[2] Ramli Hutabarat, Kedudukan hukum Islam konstitusi-konstitusi Indonesia dan peranannya Dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara UI, Jakarta, 2005, Hal. 85. 
[3] Ibid., hal.89-90.
[4] Ibid., hal. 92-93
[5] Op.cit., hal. 91
[6] Op.cit., hal. 103.
[7] Ibid., hal. 110-111.
[8] Ibid., hal. 112.
[9] Ibid., hal. 113.
[10] Ibid., hal. 115.
[11] Ibid., hal. 131-133.
[12] Muh Nurdin & Ibnu Hermawan, Majalah Saksi kiprah dan jejak Masyumi, 2005
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Eep Saifullah Fattah, Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000.
[16] Bakhtiar Effendy, op.cit., hal. 111-112