Jumat, 26 November 2010

HARAPAN DAN KEGAGALAN UMMAT ISLAM DALAM MENGISLAMKAN INDONESIA DENGAN KEKUATAN POLITIK

Pengkhianatan Kelompok Sekuler Menghapus Piagam Jakarta[1]
Oleh : Rifhadli Ridwan

Mohammad Natsir menyebut piagam Jakarta sebagai tonggak sejarah bagi terrcapainya Islam di bumi Indonesia. Sehari setelah proklamasi Indonesia dibacakan, ikhtiar ummat Islam Indonesia untuk menegakkan syariat Islam lewat Piagam Jakarta yang sebelumnya disepakati oleh tokoh-tokoh nasional dibelotkan ditengah jalan. Natsir menyebut penghapusan tersebut sebagai ultimatum kelompok Kristen, yang tidak saja ditujukan kepada ummat Islam, tetapi juga kepada bangsa Indonesia yang baru 24 jam diproklamirkan. Terhadap peristiwa pahit itu, Natsir mengatakan insya Allah ummat Islam tidak akan lupa!
            Jakarta, jalan pegangsaan 65, 17 Agustus 1945. Para aktivis dan pejuang kemerdekaan berkumpul. Naskah proklamasi yang masih berbentuk tulisan tangan siap dibacakan. Soekarno berdiri didepan microphon didampingi Mohammad Hatta, membacakan tek proklamasi kemerdekaan Indonesia rakyat menyambut gegap gempita.
            Tetapi, ada peristiwa penting yang tidak diketahui oleh sebagian orang, bahwa detik-detik jelang pembacaan naskah proklamasi, upacara dimulai dengan pembacaan UUD 1945 yang berlandaskan Piagam Jakarta. Pembacaan itu dilakukan oleh Dr Mawardi yang kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari ketua panitia Soewiryo, kemuduan setelah diawali dengan pidato singkat, barulah Soekarno membacakan naskah proklamasi.
            Ketiaka proklamasi dibacakan, tidak ada satu pun tokoh Kristen yang hadir dalam peristiwa bersejarah itu. Ketidak hadiran kelompok Kristen itu dikarenakan keberatan mereka terhadap Piagam Jakarta yang diduga bakal dibacakan Soekarno dalam proklamasi kemerdekaan. Sementara tokoh yang hadir ketika itu adalah Moha mmad Hatta, K H Wahid Hasyim, Abikoesno tjokrosoejoso, soekarjo wirjopranoto, Soetarjo Kartohadikoesoemo, Dr Radjiman Wedyaningrat, Soewirjo, Ny Fatmawati,  Ny SK Trimurti, Abdul Kadir (PETA),Daan Jahja (PETA), Latif Hendraningrat (PETA), Dr Soejipto (PETA), Kemara l Idris (PETA), Arifin Abdurrahman (PETA), Singgih (PETA), Dr Mawardi, Asmara Hadi, Soediri Soehoed Sastrokoesoemo, Djohar Noer, Soepeno, Soeroto (Pers), Sjahruddin (Pers).
            Kenapa kalangan Kristen tidak menghadiri acara penting dan sangat bersejarah itu? Belakangan diketahui, para aktivis Kristen itu sibuk melakukan konsolidasi dan lobi-lobi politik untuk meminta penghapusan tujuh kata dalam piagam Jakarta. Kesimpulsn ini didasarkan pada pernyataan Soekarno yang mengatakan bahwa malam hari usai proklamasi kemerdekaan RI, ia mendapat telpon dari sekelompok mahasiswa Prapatan 10, yang mengatakan bahwa pada siang hari pukul 12:00 WIB ( tanggal 17 Agustus), tiga orang anggota PPKI asal Indonesia timur, Dr Sam ratulangi, latuharhary dan I Gusti Getut Pudja mendatangi asrama mereka dengan ditemani dua orang aktivis. Kepada mahasiswa mereka keberatan dengan isi Piagam Jakarta. Kalimat dalam Piagam Jakarta sangat menusuk perasaan golongan Kristen. Latuharhary sengaja mengajak Dr Sam Ratulangi, I Gusti Ketut Pudja dan dua orang aktivis asal Kalimantan timur, agar seolah-olah suara mereka mewakili masyarakat Indonesia wilayah timur. Mereka juga sengaja melempar isu ini kekelompok mahasiswa yang memang mempunyai kekuatan menekan, dan berharap isu ini menjadi tanggung jawab mahasiswa.
             Mahasiswa lalu menghubungi Hatta, yang kemudian mengundang para mahasiswa untuk datang menemuinya pukul 17:00 WIB hadir dalam pertemuan itu aktivis Prapatan 10, Pietr Mamahit, dan Imam Slamet. Setelah berdialog, Hatta kemudian menyetujui perubahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Setelah dari Hatta, malam itu juga para mahasiswa menelepon Soekarno untuk menyatakan keberatan dari tokoh Kristen Indonesia Timur.
            Keesokan harinya, Soekarno dan Hatta mengadakan rapat dengan panitia persiapan kemerdekaan Indonesia di Pejambon Jakarta. Agenda sidang dibatasi hanya membahas perubahan penting dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945. Rapat yang diagendakan berlangsung pukul 09;30 WIB mundur menjadi pukul 11:30 WIB. Belakangan diketahui, mulurnya rapat tersebut disebabkan perdebatan yang sengit dalam lobi-lobi yang dilakukan untuk menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Lobi-lobi yang digagas Hatta terjadi antara Kasman Singodimejo, Ki Bagus Hadi Koesoemo, Teuku Mohammad Hassan, KH Wahid Hasyim. Pertemuan dengan Hatta berlangsung tegang.
            Saking sengit dan tegangnya pertemuan itu, sampai-sampai Soekarno memilih tidak melibatkan diri dalam lobi tersebut. Soekarno terkesan menghindar dan canggung dengan kegiguhan Ki Bagus ketika itu dalam pertahankan seluruh kesepakatan Piagam Jakarta. Soekarno kemudian mengirim seorang utusan yang bernama Teuku Mohammad Hassan.
            Kutipan dalam buku R.M.A.B Kusuma lahirnya UUD 1945: Memuat salinan dokumen otentik Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha-oesaha Persiapan Kemerdekaan, Ki Bagus Hadikoesoemo bahkan lebih tegas lagi meminta kata-kata “bagi pemeluk-pemeluknya” ditiadakan, sehingga berbunyi.”dengan kewajiban menjalan kan syariat Islam”. Artinya dalam pandangan Ki Bagus, syariat Islam harus berlaku secara umum di Indonesia.
            Lobi yang berlangsung sengit tidak juga meluluhkan pendirian Ki Bagus. Lobi-lobi dan bujukan dari utusan Soekarno, Teuku Mohammad Hassan dan tokoh sekaliber KH Wahid Hasyim pun tak mampu mengubah pendiriannya. Disinilah peran Kasman Singodimejo yang sesama orang Muhammadiyah, melakukan pendekatan secara personal dengan Ki Bagus.
            Dalam memorinya yang berjudul hidup adalah perjuangan, Kasman menceritakan aksinya melobi Ki Bagus. Dengan bahasa Jawa yang sangat halus, ia mengatakan kepada Ki Bagus; “Kiai, kemarin proklamasi kemerdekaan Indonesia sudah terjadi, hari ini harus cepat-cepat ditetapkan UUD sebagai dasar kita bernegara, dan masih harus ditetapkan siapa presiden dan lain sebagainya untuk melancarkan perputaran roda pemerintahan. Kalau bangsa Indonesia, terutama pemimpin-pemimpinnya cekcok, lantas bagaimana?! Kiai, sekarang ini bangsa Indonesia terjepit antara yang tongol-tongol dan yang tingil-tingil yang tongol-tongol ialah tentara Dai Nippon yang masih berada di bumi Indonesia dengan persenjataan modern. Adapun yang tingil-tingil sekutu termasuk belanda yaitu dengan persenjataan yang modern juga. Jika kita cekcok, kita pasti akan konyol. Kiai, didalam rancangan UUD yang sedang kita musyawarahkan hari ini tercantum satu pasal yang menyatakan bahwa enam bulan lagi nanti kita dapat adakan majlis permusyawaratan rakyat, justeru untuk membuat UUD yang sempurna. Rancangan yang ada sekarang ini adalah rancangan UUD darurat. Belum ada waktu untuk membikin yang sempurna atau memuaskan semua pihak, apalagi didalam kondisi terjepit! Kiai, tidakkah bijaksanaan jikalau kita sekarang sebagai ummat Islam yang mayoritas ini sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud demi kemenangan cita-cita bersama, yakni tercapainya Indonesia merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil, makmur, tenang tenteram, diridhoi Allah SWT”.
            Kepada Ki Bagus Kasman juga menjelaskan perubahan yang diusulkan oleh Hatta, bahwa kata “ketuhanan” ditambah dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. KH Wahid Hasyim dan Teuku mOhammad Hassan yang ikut dalam lobi itu menganggap Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Allah SWT, bukan yang lainnya. Kasman menjelaskan, Ketuhanan Yang Maha Esa menentukan arti ketuhanan dalam Pancasila. “sekali lagi bukan ketuhanan sembarangan ketuhanan, tetapi yang dikenal Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa” , kata Kasman meyakinkan Ki Bagus.
            Kasman juga menjelaskan kepada Ki Bagus soal janji Soekarno yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majlis Permusyawaratan Rakyat untuk membuat undang-undang yang sempurna. Disanalah nanti kelompok Islam bisa mengajukan kembali gagasan-gagasan Islam. Soekarno ketika itu mengatakan, bahwa perubahan ini adalah undang-undang sementara, undang-undang dasar kilat.”nanti kalau kita sudah bernegara didalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat undang-uandang yang lebih lengkap dan sempurna,” kata Soekarno
            Para tokoh Islam saat itu menganggap ucapan Soekarno sebagai janji yang harus ditagih. Apalagi ucapan Soekarno itulah setidaknya yang membuat Ki Bagus merasa masih ada harapan untuk memasukkan ajaran Islam dalam undang-undang yang lengkap dan tetap nantinya.”dengan kepastian dan jaminan enam bulan lagi sesuidah Agustus 1945 itu akan dibentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis pembuat undang-undang Dasar Negara guna memasukkan materi Islam itu ke dalam undang-undang dasar yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusoemo itu untuk menanti,”kenang Kasman dalam memorinya.
            Selain itu soal jaminan diatas, tokoh-tokoh Islam juga dihadapkan pada suatu situasi terjepit dan sulit, dimana kalngan sekuler selalu mengatakan bahwa kemerdekaan yang sudah diproklamasikan membutuhkan persatuan yang kokoh. inilah yang disebut Kasman dalam memorinya bahwa kalangan sekuler pintar memanfaatkan momen psikologis, dimana bangsa ini butuh persatuan, sehingga segala yang berpotensi memicu perpecahan harus diminimalisir. Dan yang perlu dicatat, tokoh-tokoh yang dari awal menginginkan negeri ini merdeka dan bersatu, sat itu begitu legowo untuk tidak memaksakan kehendaknya mempertahankan tujuh kata tersebut, meskipun begitu pahit rasanya hingga saat ini. Sementara kalangan sekuler Kristen yang minoritas selalu membuat move politik yang memaksakan kehendak mereka.
            Alkhulasah, dalam hitungan kurang dari 15 menit seperti diceritakan oleh Hatta, tujuh kata dalam piagam Jakarta dihapus. Setelah itu Hatta masuk kedalam ruang sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan membacakan empat perubahan dari hasil lobi tersebut. Berikut hasil perubahan kemudian disepakati sebagai preambule dan batang tubuh UUD 1945:
Pertama, kata “Muqaddimah” yang berasal dari bahasa Arab, muqaddimah, diganti dengan kata “Pembukaan”.
Kedua, anak kalimat Piagam Jakarta yang menjadi pembukaan UUD, diganti dengan,”negara berdasar atas ketuhanan Yang Maha Esa.
Ketika, kalimat yang menyebutkan presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam seperti yang tertulis dalam pasal 6 ayat 1, diganti dengan mencoret kata-kata “dan beragama Islam”.
Keempat, terkait perubahan poin kedua, maka pasal 29 ayat 1 berbunyi, “Negara Berdasarkan Atas Ketuhanan Yang Mha Esa” sebagai ganti dari, negara berdasarkan atas ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
            Inilah musibah terbesar bagi ummat Islam di negeri ini. Ketua umum Masyumi, Prawoto Mangkusasmito dengan sedih dan perih mengatakan, “Piagam Jakarta yang diperdapat dengan susah payah, dengan memeras otak dan tenaga berhari-hari oleh tokoh-tokoh terkemuka negeri ini, kemudian di dalam rapat “Panitia Persiapan Kemerdekaan” pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam beberapa menit saja bisa diubah?
            Selain Prawoto, tokoh Masyumi lainnya seperti KH M. Isa Anshri dan Muhammad Natsir juga merasa keperihan serupa. Isa Anshari menyebut peristiwa itu sebagai kejadian yang mencolok mata, yang dirasakan seperti “permainan sulap” dan pat-gulipat politik yang diliputi kabut rahasia. Sementara Natsir mengatakan, penghapusan tujuh kata tersebut sebagai ultimatum kelompok Kristen, yang tidak saja ditujukan kepada ummat Islam, tetapi juga kepada bangsa Indonesia yang baru 24 jam diproklamirkan. Natsir menegaskan, peristiwa tanggal 18 Agustus 1945 adalah peristiwa sejarah yang tak bisa dilupakan. “Menyambut Proklamasi tanggal 18 Agustus kita bertahmid. Menyambut hari esoknya, tanggal 18 Agustus, kita istighfar. Insya Allah ummat Islam tidak akan lupa,” kata Natsir.

Pecah Belah Politik Yang Berakibat Pada Pembubaran Masyumi[2]
Pada saat Soekarno sedang gencarnya dalam mempropaganda Demokrasi Terpimpin, Soekarno seringkali mengkritik ide dan pelaksanaan demokrasi liberal yang sudah jauh dari tujuan revolusi Indonesia. Ide dan pelaksanaan demokrasi ini justru menjauhkan Indonesia dalam membentuk Indonesia yang adil dan makmur. Menurut Soekarno segala permasalahan Indonesia disebaabkan karena adanya Demokrasi liberal. Sehingga harus digantikan Demokrasi yang harus sesuai dengan budaya dan karakteristik bangsa Indonesia
            Pada saat menghadapi perubahan ke demokrasi terpimpin, partai-partai Islam semakin yang semakin ditekan oleh pihak pemerintah mempunyai kebijakan yang berbeda. Secara garis besar setiap partai mempunyai visi politik yang dikelompokan menjadi dua pada masa itu. Pertama Masyumi yang memandang keikutsertaan dalam pemerintah yang otoriter bermakana telah menyimpang dari ajaran Islam. Sedangkan kelompok lainnya, NU, PSII. Perti (Liga Muslimin) mempunyai pandangan bahwa turut serta dalam pemerintah adalah sikap realistis dan pragmatis.
            Menurut pandangan Masyumi sistem demokrasi terpimpin akan membawa bencana bagi negara. Sehingga gerakan politik Soekarno harus dilawan, apapun akibatnya yang diterima, pada hal kondisi pada saat itu Masyumi sudah lemah. Sedang NU, sebelum sebelum dekrit 5 Juli diketahui sikapnya yang menerima demokrasi terpimpin. Pada tanggal 11 Januari 1959, Soekarno mengadakan pertemuan dengan perwakilan dari NU, yakni Wahab Chasbullah, Idham Khalid, Djamaluddin Malik dan Zainul Arifin. Mereka ditanya tentang sikap NU terhadap demokrasi terpimpin. Zainal Arifin menyatakan setuju terhadap demokrasi yang dipimpin oleh hikmah kebijakan musyawarah. Walaupun jawaban ini diikut seratkan dengan kalimat hikmah musyawarah, hal ini merperlihatkan NU berkeputusan untuk turut serta dalm pemerintahan.
            Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah yang diberlakukan kedua belah partai sangat jelas berbeda yang menyebabkan memecah belah Islam. Masyumi dengan idealisme yang menantang pemerintah semakin tersingkir dari panggung politik, sedangkan NU menjadi partai yang menggantikan Masyumi sebagai partai yang mendukung pemerintah. Hal ini tampak dari NU Yang terlibat DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) dan masuk dalam kabinet, sedangkan Masyumi tidak dilibatkan
Pembubaran dan penangkapan tokoh Masyumi
            Pada awalnya hubungan Soekarno  dengna Masyumi, khususnya Natsir pada mulanya berjalan baik, dimulai pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Perjuangan menuntut semua energi dan tenaga dijadikan satu untuk melawan Belanda yang ingin mempertahankan jajahannya di Indonesia. Walaupun sebelumnya terjadi perbedaan pandangan yang tajam antara Soekarno dan Natsir pada masa sebelum kemerdekaan. Keduanya mempunyai pemikiran yang berbeda, sehingga kali terjadi perdebatan panas dikeduanya. Namun kondisi dan situasi masa perjuangan justeru membuat keduanya menjadi erat. Bahkan masa awal dari NKRI, Soekarno mempercayakan perdana menteri kepada Natsir, yang merupakan tokoh Masyumi. Kondisi ini dibuktikan dengan komposisi kabinet yang tidak memasukkan PNI, justeru tidak ditentang Soekarno.
            Kondisi ini ternyata tidak bertahan lama, akar permasalahan antara Soekarna dan Masyumi adalah permasalahan Irian Barat. Permasalahan Irian Barat menjadi bom waktu yang seharusnya dan secepatnya diselesaikan. Masyumi menginginkan permasalahan Irian Barat diselesaikan dengan perjanjian, karena Indonesia sudah terikat perjanjian Konfrensi Meja Bundar (KMB), sedangkan Soekarno menginginkan menyelesaikan permasalahan Irian Barat dengan cara Agiatif. Keduanya menyampaikan pandangannya dalam rapat kabinet yang mengajak Soekarno dan Hatta. Pertemuan tersebut menghasilkan suara dengan perbandingan lima orang memihak Soekarno dan dua belas orang memihak natsir. Kekalahan pendapat ini justeru pada akar kebencian Soekarno kepada Masyumi.
            Kondisi diperkuat dengan Natsir yang mengisi puncak pimpinan  dan kelompok ditubuh Masyumi. Sehingga dalam pandangan Soekarno, Masyumi sama dengan Natsir dan Natsir sama dengan Masyumi. Oleh karena itu bila, bila Natsir mengadakan pemberontakan daerah berarti Masyumi terlibat pula. Padahal pemahaman ini tidak dapat dipertanggungkan jawab secara hukum resmi yang berlaku. Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 200/1960 yang diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1960, pimpinan partai Masyumi pada tanggal 13 September 1960 menyatakan partainya dibubarkan untuk memenuhi ketentuan-ketentuan keputusan presiden. Hilangnya partai Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) di kancah nasional, berarti hancurnya pilar demokrasi dan negara hukum.
            Pada tahun berikutnya, sebagian tokoh puncak keduanya yang berada di Tanah Air, ditangkap dan dipenjarakan, sementara itu pihak-pihak pesantren merapat ke istana. Contoh penangkapan tokoh-tokoh Masyumi tanpa prosedur hukum yang jelas yang terjadi saat Anak Agung Gede melakukan pembayaran jenazah ayahnya, pada saat itu ada Roem, Prawoto, Roem, Soebandrio, Yunan dan Isa. Mereka diiring kepenjara, bahkan tokoh-tokoh yang tidak ikut murni gerakan PRRI Permesta, seperti Buya Hamka, H.E.Z. Muttaqien, KH Isa Anshari, M Roem, Prawoto Mangkusasmito, Soemarso Soemarsono, dll ikut dijebloskan. Ikut pula masuk penjara tokoh Islam non-Masyumi, seperti KH. Imran Rosyadi yang bersal dari NU dan tokoh Pers nasional Mukhtar Lubis. Mereka dikerangkeng karena dianggap menentang kebijakan presiden Soekarno yang cenderung pro komunis.


[1] Dr. Adian Husaini, Artikel
[2] Muh Nurdin, Ibnu Hermawan, Majalah,Saksi kiprah dan jejak politik Masyumi, oktober 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar